PERJALANAN hidup seorang Eko Tunas (55) barangkali bisa diibaratkan sebagai sinetron yang tak habis-habis. Meski usianya sudah terbilang senja, semangat berkaryanya tak pernah mati.
Eko Tunas adalah pria kelahiran Tegal18 Juli 1956.Seniman serbabisa, ini menulis, melukis, dan berteater sejak SMA. Sejak menghabiskan masa muda di Tegal dan Jogja, hingga setelah hijrah ke Semarang, karya-karyanya terus mengalir.
Tahun 1976 Eko Tunas masuk Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) Yogyakarta jurusan Seni Lukis.
Selama di Yogya, Eko Tunas bergaul akrab dengan Emha Ainun Nadjib, Ebiet G Ade, dan EH Kartanegara. Beberapa kali mengikuti pameran besar Sanggarbambu, dan pameran Tiga Muda di Tegal, tahun 1978 bersama Wowok Legowo dan Dadang Christanto. Tahun 1981 masuk IKIP Semarang jurusan Seni Rupa, dan mengikuti pameran mahasiswa di Semarang dan Jakarta.
Sejak bergelut dengan kesenian Eko Tunas produktif melahirkan berbagai karya. Novelnya, Wayang Kertas, memenangkan Sayembara Cipta Cerita Bersambung Suara Merdeka, tahun 1990. Beberapa cerpennya diterbitkan bersama oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dalam buku Bidadari Sigarasa, tahun 2002, dan dibacakan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Kumpulan puisi yang pernah diterbitkan antara lain; Puisi-puisi Dolanan (1978), dan Yang Terhormat Rakyat (2000).
Untuk kesekian kali, puisi-puisi Eko Tunas diterbitkan dalam buku bertajuk Ponsel di Atas Sprai. Menyusul kemudian, puluhan lukisan hasil goresan pastel di atas kertas dipamerkan pula. Kedua kegiatan itu digagas Balekopi Suraukami, sebuah ruang apresiasi yang akhir-akhir ini aktif menggelar berbagai acara seni dan budaya.
Di tempat itu pula Eko Tunas juga kerap tampil monolog. Ya, selain menulis, baik fiksi maupun esai, dan merupa, baik melukis maupun mematung, Eko juga dikenal sebagai aktor. Banyak panggung di berbagai kota yang telah disinggahi. Dia juga melahirkan banyak naskah drama yang dimainkan beberapa kelompok teater.
”Latihan saya adalah melakoni perjalanan hidup. Jadi setiap akan manggung, tak perlu lagi berpayah-payah,” ujarnya suatu ketika di sebuah forum.
Ungkapan yang barangkali bisa membuat malas jika hanya ditangkap sebagian. Tapi bisa dimengerti jika kita membaca garis hidup yang harus dilaluinya. Aksi, drama, romantika, bahkan mungkin tragedi dan hampir semua jenis genre fiksi mengisi lima dasawarsa lebih kehidupannya.
Selain kreativitas pantang surut itu, Eko juga layak mendapat apresiasi atas sikapnya yang terbuka. Dia bersedia untuk saling bertukar pikiran dengan siapapun termasuk para aktivis seni dari generasi yang lebih muda. Tak jarang Eko terlihat dalam pembicaraan yang serius dengan seniman-seniman muda di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS), kampus-kampus, atau bahkan rumahnya sendiri.
”Setidaknya pengalaman saya bisa menjadi pelajaran bagi para rekan-rekan seniman sekarang. Meski tak bisa dibandingkan secara langsung, tapi pasti ada yang bisa diambil hikmahnya,” ujar Eko Tunas yang tak hanya aktif di Semarang, tapi juga sering diundang ke beberapa kota untuk sekadar berbagi pengalaman atau diskusi.
Beberapa waktu lalu, sebuah perhelatan sederhana digelar untuk memperingati ulang tahunnya. Saat itu, Eko Tunas menegaskan jika dirinya belum habis dan masih tetap akan berkreasi. (rahmat petuguran/portal semarang).
suarajateng.com