Oleh : HARMONO, SH
Ketika anda berobat ke dokter, pasti harapannya adalah kesembuhan. Anda tidak tau apa penyakit anda, sebagaimana anda juga tidak tau pilihan obat yang tepat untuk kesembuhan anda, sehingga anda datang berobat ke dokter, karena dokterlah yang tau penyakit anda dan obatnya, dan anda menyerahkan sepenuhnya pilihan obat untuk kesembuhan anda yang oleh dokter ditulis pada selembar kertas bernama ‘resep’. Namun tanpa disadari, begitu anda datang berobat ke dokter, ada kepentingan lain diluar hubungan anda dan dokter yang menyertai anda. Perusahaan farmasi berharap bagaimana agar dokter yang memeriksa anda meresepkan obat-obatan produksi mereka. Obat yang diresepkan sang dokter kemudian anda tebus ke apotik. Dan sesaat kemudian anda terkejut. Ternyata obat yang sangat diperlukan untuk kesembuhan anda sangatlah mahal, diluar perkiraan anda.
Dalam keadaan demikian hanya dua pilihan; pembelian obat ditunda atau anda menebus separohnya. Anda tidak akan tau kenapa obat yang anda butuhkan itu mahal, seperti juga anda tidak akan tau kenapa dokter meresepkan obat yang mahal. Dan anda juga tidak akan pernah tahu apakah jenis dan kualitas obat mahal yang diresepkan itu berguna atau tidaknya bagi kesembuhan anda.
Obat resep dokter, ya mahal. Kenapa ? Karena obat yang anda perlukan itu berasal dari perusahaan farmasi yang punya kepentingan pada kondisi kesehatan anda, terlebih terhadap penulisan resep dokter. Dengan kata lain, sakit anda dan penulisan resep dokter menjadi substansi hubungan kolusi dan marketing bisnis perusahaan farmasi. Apakah anda tau itu. Tidak khan, Mereka juga tidak menginginkan anda tau. Anda sakit, ingin sembuh, lalu berobat ke dokter, terus dokter memberi resep obat, anda tebus ke apotik dan harganya mahal. Bagaimanapun anda harus membelinya, karena anda ingin sembuh, tidak mau sakit, take it or live it.
Begitulah fenomena ditengah masyarakat yang kemudian dijustifikasi, mahalnya harga obat adalah hal yang lumrah dan wajar, tanpa berusaha menggali benang merah akar permasalahan dan mencari solusinya kebenaran itu. Naifnya lagi, pemikiran ini juga ada pada mereka-mereka yang menerima amanah rakyat untuk mengurus masalah kesehatan di negeri ini. Adanya kolusi dokter dan perusahaan farmasi menjadi penyebab mahalnya harga obat dinegeri ini. Badan Penelitian dan Pengembangan (Balibang) - Departemen Kesehatan RI dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) mensinyalir mahalnya harga obat di Indonesia 200 kali lipat dari harga obat di pasaran dunia (Sumber Liputan 6 SCTV tgl. 23 Juli 2007).
Keadaan ini diakui Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, DFM, SH, Msi, Sp.F (K), Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang sekarang Kepala Biro Hukum dan Organisasi – Departemen Kesehatan : ‘Praktek kolusi antara dokter dan perusahaan farmasi ini sudah melanggar kode etik dan disiplin kedokteran. Sebab, dokter memberikan resep bukan berdasarkan penyakit pasien, melainkan gejala penyakit yang telah diperkirakan dokter sebelumnya.
Obat yang diresepkanpun berdasarkan kontrak perusahaan farmasi dengan dokter. Dampak dari praktek ‘dokter kontrak’ ini menyebabkan harga obat tinggi. Sebab perusahaan farmasi membebankan biaya insentif dokter sebesar 20 % (dua puluh persen) itu dari harga obat’. Selanjutnya ditegaskan: ‘Praktek kolusi ini dilakukan oleh seluruh dokter di Indonesia. Sebagian besar dokter tersebut bekerja sama dengan perusahaan obat lokal yang tergabung dalam Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi’. (Sumber : Koran Tempo, tgl. 16 Agustus 2007).
Namun, Ketua GP. Farmasi Anthony Charles Sunarjo menyatakan tidak pernah ada laporan soal kolusi antara dokter dan farmasi, sehingga sulit bagi asosiasi ataupun Mejelis Etik Usaha Farmasi Indonesia untuk memberikan sanksi . “Saya tidak bilang tidak ada, tetapi memang tidak ada buktinya” (Sumber : Koran Tempo, tgl. 16 Agustus 2007).Hal ini dibenarkan Kartono Mohammad, mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Adanya perselingkuhan diantara produsen obat dengan dokter memang sulit dibuktikan. Namun bukan tidak bisa diraba, misalnya dari jumlah dan jenis obat yang diresepkan seorang dokter. Bukan hal yang aneh dalam satu resep terdapat sampai lima jenis obat, pada hal yang dibutuhkan pasien sebenarnya cuma tiga jenis obat. Ada obat yang tidak perlu diberikan, tapi tetap ditulis dalam resep. Begitu juga jika semua obat yang diresepkan berasal dari produsen yang sama (Sumber : Liputan 6 SCTV tgl. 23 Juli 2007, jam 19.22 WIB).
Menarik apa yang diungkapkan Sdr. Angkus pada Suara Konsumen Online tanggal 1 Juni 2007, yang melakukan pemeriksaan darah di laboratorium. Hasil laboratorium dikonsultasikan pada 3 dokter spesialis berbeda. Dokter A memberikan resep 3 jenis nama obat. Dokter B memberikan resep 2 jenis nama obat. Terakhir konsul ke dokter C dengan harapan semoga obatnya ada yang sama dengan salah satu dari 2 dokter sebelumnya agar tidak ragu untuk memulai mengkonsumsi obat yang diberikan. Ternyata dokter C meresepkan 3 jenis nama obat yang tidak sama dengan resep obat 2 dokter spesialis sebelumnya. Celakanya lagi semua obat yang diresepkan itu obat bermerek yang mahal.
Dengan demikian tepat apa yang disinyalir banyak orang, kolusi dokter dan perusahaan farmasi ini ibarat ‘kentut’, terasa ada terkatakan tidak. Kenapa ? Karena aromanya sangat mengganggu dan merusak suasana. Tetapi tidak ada yang mengakui, tidak ada yang menuding, semua diam, walau mereka tau melepas kentut tidak beretika, melanggar nilai/norma terlebih merugikan orang lain dan masyarakat, tetapi sulit untuk dibuktikan. Begitu juga dengan kolusi dokter (perselingkuhan) dengan perusahaan farmasi, jelas yang dirugikan konsumen. Kolusi ini menyebabkan harga obat menjadi mahal, 200 kali lipat dari harga diluar negeri. Dan kolusi ini juga merugikan konsumen, karena dokter memberikan resep bukan berdasarkan penyakit pasien, melainkan berdasarkan gejala penyakit yang telah diperkirakan sebelumnya, disebabkan karena sang dokter diburu target.
MATA RANTAI PERSELINGKUHAN ITU
Dari hasil pengamatan, niat, kemauan atau gagasan untuk berkolusi bukan hanya datang dari perusahaan farmasi, ada kalanya atas permintaan dokter. Perusahaan farmasi memproduksi obat bermerek (paten) untuk dijual. Sedang dokter punya kewenangan menentukan obat. Dengan cara itu perusahaan farmasi berkepentingan obatnya laku terjual. Uniknya, cara-cara pemasaran obat oleh perusahaan farmasi dilakukan dengan system ‘detailing’, dimana perusahaan farmasi melalui jaringan distributor melakukan pendekatan tatap muka dengan dokter yang berpraktek di rumah sakit ataupun praktek pribadi. Kegiatan detailing ini mempunyai berbagai nuansa, termasuk adanya komunikasi untuk mendapatkan situasi yang saling menguntungkan antara dokter dan perusahaan farmasi. Dan dalam komunikasi inilah terbuka kemungkinan terjadinya kolusi dokter dengan perusahaan farmasi.
Demikian sebaliknya, dokter punya kepentingan terhadap imbalan/komisi dari perusahaan farmasi atas penjualan obat yang diresepkan. Dari sinilah kemudian lahir permufakatan dokter dengan perusahaan farmasi yang dikenal dengan kolusi atau conpiracy of silent. Yang berperan aktif menggalang permufakatan ini adalah para detailer atau Marketing Representatif/MR Tulisan ini adalah pengalaman penulis pernah menjadi marketing representatif pada perushaan farmasi. Mereka secara berkala selalu melakukan kunjungan ke dokter-dokter. Jumlah tempat praktek, terutama jumlah konsumen berobat menjadi ukuran untuk menentukan bentuk, arah permufakatan dan besaran kompensasi.
Walau tidak semua dokter melakukan berkolusi dengan perusahaan farmasi, namun kompensasi yang ditawarkan perusahaan farmasi pada sang dokter sangat menggiurkan, seperti pemberian uang/barang, mensponsori seminar/kongres dan fasilitas transportasi/akomodasi serta acara family gathering sampai ke pembayaran angsuran leasing mobil dsb. Terhadap kolusi perselingkuhan ini perusahaan farmasi menghitungnya sebagai ‘biaya promosi’ yang dimasukkan kedalam ‘biaya produksi’, sehingga biaya produksi menjadi tinggi dan harga obat menjadi mahal. Mahalnya harga obat sepenuhnya menjadi tanggungan konsumen. Prof.Dr.dr. Agus Purwadianto, DFM,SH, Msi, Sp.F(K) menyebutkan 20 % dari harga jual obat yang dialokasikan perusahaan farmasi untuk biaya promosi. Selanjutnya Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dr. Marius Widjajarta memperkirakan angka Rp. 500 Milliar setahun yang dikeluarkan perusahaan farmasi untuk biaya promosi. Namun perlu diyakini, jumlah uang beredar yang didistribusikan ke dokter-dokter secara keseluruhan lebih dari 20 % dan lebih dari Rp. 500 Milyar.Ketua Ikatan Sarjana Farmasi (ISFI) Haryanto Dhanutirto memprediksi perusahaan farmasi memberikan diskon kepada dokter sampai 40 % dan kepada apotik 5% - 10%. Sedangkan Syofarman Tarmizi, Direktur Pemasaran PT.Kimia Farma memperkirakan jumlah dana yang masuk ke dokter-dokter sekitar Rp. 10,5 triliun dari jumlah Rp. 20,3 triliun total market obat di Indonesia (Sumber : Media Indonesia Online, tgl. 04 Juni 2007).
Dari uraian diatas semangkin jelas bahwa kolusi perselingkuhan ini menyebabkan harga obat merek/paten yang selama ini dikonsumsi konsumen Indonesia menjadi sangat mahal melebihi harga obat diluar negeri, mungkin lebih mahal dari harga obat di Bangladesh atau Timor Timur sekalipun.
ASPEK HUKUM PERBUATAN KOLUSI/PERSELINGKUHAN FEE
Walau kolusi dokter dan perusahaan farmasi susah dibuktikan, namun Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada tahun 2002 telah mengantisipasi kolusi dokter dan perusahaan farmasi dengan perangkat hukum tentang ‘Promosi Obat’, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Kepala BPOM No. HK.00.05.3.02706. Pasal 9 menyebutkan : ‘Industri Farmasi dan/atau Pedagang Besar Farmasi dilarang : (a) Kerja sama dengan Apotik dan Penulis Resep, (b) Kerja sama dalam pengresepan obat dengan Apotik dan/atau Penulis Resep dalam suatu program khusus untuk meningkatkan penjualan obat tertentu, (c) Memberikan bonus/hadiah berupa uang (tunai, bank draft, pinjaman, voucher, ticjet) dan/atau barang kepada Penulis Resep yang meresepkan obat produksinya dan/atau yang didistrubusikan. Sedangkan pengawasan terhadap kegiatan promosi obat oleh perusahaan farmasi dilakukan sepenuhnya BPOM dengan membentuk komisi independen.
Pelanggaran terhadap Pasal 9 diatas diatur didalam Pasal 10, yaitu : ‘Selain dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terhadap Industri Farmasi dan/atau Pedagang Farmasi yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat dikenakan sanksi admisnistratif berupa : (a) Peringatan tertulis, (b) Penghentian sementara kegiatan, (c) Pembekuan dari/atau pencabutan izin edar obat yang bersangkutan, (d) dan sanksi administrative lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku’.
Mengacu pada sanksi pidana sebagaimana dimaksud SK BPOM, Pasal 62 Ayat (1) UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 menyebutkan : ‘Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 Ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 Ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, Ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)’.
Namun langkah mundur justru datang dari Departemen Kesehatan yang pada tanggal 11 Juni 2007 memfasilitasi kesepakatan bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan GP Farmasi membentuk ‘Etika Promosi Obat’. Pada hal izin usaha perusahaan farmasi dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) SK Menkes RI No.1191/Menkes/SK/IX/2002, perubahan atas Peraturan Menkes RI No. 918/Menkes/Per/X/1993 tentang Perusahaan Besar Farmasi. Demikian juga izin praktek dokter dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan berdasarkan Pasal 37 UU Praktek Kedokteran No. 29 Tahun 2004. Seharusnya Depkes pro-aktif menghentikan kolusi dokter dan perusahaan farmasi sekaligus melindungi rakyat dari kesulitan membeli obat yang mahal akibat kolusi dengan cara menyiapkan perangkat hukum dengan sanksi yang tegas dan pasti. Bukan sebaliknya menerbitkan etika/kode etik yang justru cukup dan terbatas hanya dilingkungan organisasi masing-masing, seperti Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) untuk kalangan dokter di IDI. ‘Etika Promosi Obat’ dimaksud selengkapnya berisikan : (1). Seorang dokter dalam melakukan pekerjaan kedokterannya tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Kaitannya dengan promosi obat adalah dokter dilarang menjuruskan pasien untuk membeli obat tertentu karena dokter yang bersangkutan telah menerima komisi dari perusahaan farmasi tertentu ; (2). Dukungan apapun yang diberikan perusahaan farmasi kepada seorang dokter untuk menghadiri pertemuan ilmiah tidak boleh diisyaratkan/dikaitkan dengan kewajiban untuk mempromosikan atau meresepkan suatu produk ; (3). Perusahaan farmasi boleh memberikan sponsor kepada seorang dokter secara individual dalam rangka pendidikan kedokteran berkelanjutan, yaitu hanya untuk biaya registrasi, akomodasi dan transportasi dari dan ke tempat acara pendidikan kedokteran berkelanjutan; (4). Perusahaan farmasi dilarang memberikan honorarium dan atau uang saku kepada seorang dokter untuk menghadiri pendidikan kedokteran berkelanjutan, kecuali dokter tersebut berkedudukan sebagai pembicara atau menjadi moderator; (5). Dalam hal pemberian donasi kepada profesi kedokteran, perusahaan farmasi tidak boleh menawarkan hadiah/ penghargaan, insentif, donasi, finansial dalam bentuk lain sejenis, yang dikaitkan dengan penulisan resep atau anjuran penggunaan obat/ produk perusahaan tertentu ; (6). Pemberian donasi dan atau hadiah dari perusahaan farmasi hanya diperbolehkan untuk organisasi profesi kedokteran dan tidak diberikan kepada dokter secara individual ; (7). Ikatan Dokter Indonesia (termasuk organisasi seminat/ spesialis dan organisasi lain di lingkungan IDI) harus menyusun dan memverifikasi berbagai kegiatan resmi organisasi, khususnya yang berkaitan dengan sponsorship atau pendanaan dari anggota GP Farmasi Indonesia serta melakukan koordinasi dengan GP Farmasi Indonesia untuk tindak lanjutnya.
Sebelum adanya Etika Promosi Obat, sejak tahun 1983 telah berlaku Kode Etik Kedokteran Indonesia. Pasal 3 KODEKI menetapkan : ‘Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi’. Apakah dengan KODEKI ini prilaku dokter berubah sejak tahun 1983, sementara pelayanan medis dokter semakin mengarah pada ‘profit oriented’, dibandingkan ‘service oriented’ atau ‘social oriented’, sehingga etika dan moral jadi terabaikan. Kenyataannya harga obat tetap tinggi dan kolusi tetap berjalan.Perusahaan farmasi maupun dokter akan selalu mensiasati dengan berbagai cara menghindar dari ketentuan KODEKI maupun Etika Promosi Obat yang nota bene tidak memiliki kekuatan hukum apapun, baik sanksi maupun eksekutorial. Banyak cara yang dapat mereka lakukan, seperti melampirkan brosur seminar/temu ilmiah pada lembar transfer bank, mengalokasikan komisi dokter pada jumlah gaji staf marketing guna menghindari keterlibatan perusahaan secara lansung dan cara illegal lainnya.
APAKAH KOLUSI INI TINDAK PIDANA KORUPSI?
Wakil Ketua Komisi Pemberatasan Kosupsi (KPK) mengatakan, bahwa korupsi itu terjadi karena ‘power tidak disertai dengan akuntabilitas’ (Sumber : ‘Patofisiologi Korupsi Di Bidang Kesehatan’, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 01 Maret 2006). Makna akuntabilitas adalah pertanggung jawaban dari seseorang yang diberi amanah untuk melaksanakan tugas kepada pihak yang memberikan amanah. Dokter sebagai tenaga professional memiliki power dan kewenangan untuk memutuskan diagnosa apa yang dia yakini benar, kewenangan untuk memberikan perawatan dan pengobatan atas diagnosa yang telah dia putuskan itu. Mengacu pada model yang dikemukakan Syahruddin Rasul, maka power dan kewenangan yang dimiliki dokter sebagai tenaga professional harus akuntabel. Seandainya tidak akuntabel atau tidak bisa diaudit keputusan-keputusannya, maka peluang korupsi akan tercipta.
Dasar hukum untuk melakukan audit terhadap semua keputusan dokter berupa diagnosa dan tindak lanjutnya tertuang dalam Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan No. 434/Menkes/SK/X/ 1983 tentang Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Pasal 7 menyebutkan : “Seseorang dokter hanya memberikan keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya”. Dengan demikian, dapat ‘dibuktikan’ merupakan kata kunci yang memberi peluang untuk dilaksanakannya audit terhadap semua keputusan yang ditetapkan dokter dalam menggunakan power dan kewenangannya itu. Berkaitan dengan hal diatas, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang ‘Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi’, Pasal 12 huruf b menyebutkan tentang ‘gratifikasi’, yaitu pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa uang, ticket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya, dengan ancaman hukuman pidana seumur hidup, atau pidana paling singkat 4 tahun dan pidana denda paling sdikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Berdasarkan uraian diatas, kolusi dokter dan perusahaan farmasi dengan adanya pemberian insentif berupa komisi dsb atas prestasi dokter mengresepkan sejumlah obat produksi perusahaan farmasi tertentu sehingga menimbulkan kerugian pada konsumen, ditandai dengan mahalnya harga obat bermerek/paten didalam negeri, beralasan bagi konsumen untuk menyampaikan laporan/pengaduan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena telah terjadi perbuatan melawan hukum, yaitu tindak pidana korupsi. Oleh karenanya lupakan KODEKI, lupakan Etika Promosi Obat, karena hingga saat ini tidak terbukti merubah prilaku dokter dan perusahaan farmasi. (dariberbagai sumber).
Harmono, SH *Penulis adalah Alumni Pendidikan Khusus Advokat Unsoed 2005; Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Banjarnegara dan Sekretaris Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia Cabang Banjarnegara. Email : momon_harmono@yahoo.com ; HP : 085 291 637 379.
suarajateng.com