Aljazair adalah salah satu Negara bagian dari jazirah Arab di benua Afrika Utara yang berpenduduk sekitar 33 juta, 98 persen memeluk agama Islam. Tak pelak bila Aljazair menjadi kekuatan utama organisasi persatuan Negara-negara Islam sedunia (OKI). Bahasa nasional mereka resminya bahasa Arab, tetapi dalam kenyataan separoh warganya menggunakan bahasa Perancis, karena di masa lalu negeri ini dijajah oleh Perancis.
Sebelah barat Aljazair berbatasan dengan Maroko, sebelah timur dengan Libya dan Tunisia, di bagian selatan dengan Mali, dan bagian utara dengan Laut Tengah yang di seberangnya tedapat Negara-negara Eropa Selatan seperti Portugal, Spanyol dan Italia.
Salah satu kota terbesar di Aljazair dari 48 Propinsi adalah Propinsi Telemcem yang berbatasan langsung dengan Maroko. Propinsi ini tengah punya ambisi untuk menjadi Propinsi Induk Kebudayaan Islam seluruh dunia. Anehnya mereka sendiri bingung kira-kira kebudayaan Islam macam apa kira-kira untuk bentuk dan jenisnya. Kebingungan itu bisa dimaklumi karena Aljazair yang pernah menjadi Pusat kerajaan Turki Utsmani dan memiliki kota pendidikan Constantine dengan Universitas Abdulqodir sebagai ikonnya, telah lama vakum dari dinamika kebudayaan. Lebih-lebih sejak tahun 1992 ketika rezim militer menguasai negeri kaya raya ini, partisipasi dan ekspresi rakyat tidak memperoleh tempat.
Untuk urusan fasilitas seni budaya, seperti Gedung-gedung Teater modern, maupun taman teater terbuka sangatlah memadai. Namun ironisnya justeru materi kebudayaan Islam itu sendiri yang mereka mengaku masih mencari isinya. Dalam rangka itulah sejak dua tahun terakhir, negeri kaya minyak dengan produksi 2,5 juta barel per hari dan income per kapita 8000 USD ini aktif mengundang tim kesenian dari Negara-negara sahabat, utamanya Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Ketika Indonesia melalui Yayasan Kreativitas Budaya Indonesia, dimana saya sebagai Ketua Dewan Pembina, diberikan kesempatan untuk tampil mempertunjukkan seni budayanya, saya berkesempatan ikut mengunjungi negeri terbesar kedua di benua Afrika yang sedang konflik dengan Maroko gara-gara berebut Gurun Sahara di bagian barat itu.
Perjalanan ke Aljazair ditempuh 16 jam penerbangan dengan transit di Doha, Qatar. Secara umum Aljazair merupakan Negara yang relatif sejahtera. “Wajah sosialis masih terasa di Negara ini. Makanan disubsidi, tempat tinggal disubsidi, pendidikan dan kesehatan diberikan secara cuma-cuma kepada semua warganya tanpa kecuali. Bahkan orang asing yang menempuh pendidikan di sini juga bebas biaya sampai perguruan tinggi. Harga bahan bakar minyak juga sangat murah, hanya 2.300 dinnar per liter atau setara dengan Rp 2.300,” kata Duta Besar Indonesia untuk Aljazair, Drs Achmad Ni’am Salim.
Pantaslah ketika saya turun dari pesawat Qatar Airways pemandangan megah tersaji di depan saya. Arsitektur bandara modern, bangunan bertingkat perkantoran dan apartemen, jalanan mulus dan lebar-lebar, serta tanaman menghijau di sepanjang sudut kota dengan dominasi pohon-pohon kurma.
Yang membuat saya sangat kaget adalah bayangan saya yang 100 persen salah. Karena benua Afrika maka referensi yang ada dalam otak saya tentang orang Aljazair adalah hitam-hitam, ternyata orang Algiers itu putih-putih seperti orang Eropa. Saya lupa karena dengan Negara-negara Eropa Selatan hanya dibatasi Laut Tengah dengan penerbangan tidak lebih dari 2 jam. Jangan kaget bila saya katakana bahwa gadis-gadis Aljazair itu tidak ada yang cantik, yang ada .... cantik-cantik sekali….
Catatan menarik selama seminggu mengunjungi tiga kota besar : Alger, Telemcem (Tilimsam), dan Constantine di antaranya, Pertama : infrastruktur dasar memperoleh prioritas utama Negara. Jalanan aspal lebar dan mulus di mana-mana, jembatan layang, terowongan, semua dibangun untuk memperlancar arus transportasi antarprovinsi antarkota. Berbeda dengan jalan tol di Indonesia yang harus membayar dan macet, di Aljazair jalan tol benar-benar bebas hambatan, tanpa luka sedikit pun, dan tidak membayar sepeser pun. Aljazair bahkan memiliki jalan tol sepanjang 1200 km yang membentang dari gurun Sahara berbatasan dengan Maroko hingga ujung timur berbatasan dengan Tunisia.
Sayangnya jalan-jalan tol tidak dilengkapi dengan rest area atau tempat pengisian bahan bahan bakar yang memadai sehingga kala kita ingin buang air kecil harus loncat pagar jalan tol, mencari semak untuk menjalankan tugas yang tidak bisa diwakilkan itu. Sepeda motor juga sangat jarang sehingga memudahkan pengaturan lalu lintas.
Kedua, pemerintah membuat kebijakan larangan pendirian tempat-tempat belanja oleh pemodal besar. Bisa dibayangkan, di kota Alger, ibukota Aljazair, hanya ada satu mall atau pertokoan modern. Lainnya pertokoan biasa, kios-kios kecil dan pasar rakyat. Dengan demikian ekonomi rakyat tumbuh terjaga dan tidak ada monopoli penguasaan sumber-sumber ekonomi.
Ketiga, negeri ini memiliki wilayah yang sangat luas dan sangat subur, hampir seperti Indonesia di mana hampir semua tanaman bisa tumbuh. Berbeda dengan wilayah Negara-negara Arab di Timur Tengah yang kebanyakan berupa padang pasir dan lahan berbatuan, Aljazair memiliki variasi area yang lengkap; pantai, gunung, lereng, ngarai, sungai, danau, dan padang pasir. Sayangnya penduduk sudah lama hidup dimanja, semua kebutuhan pokok disuplai Negara sehingga rakyat malas mengolah tanah. Apalagi tanah dikuasai Negara. Rakyat boleh memiliki tanah tetapi sangat dibatasi. Program-program pertanian tidak dirancang oleh para petani tetapi oleh Negara dan petani hanya melaksanakan saja harus menanam apa jumlahnya berapa dan bagaimana mengolahnya.
Keempat, Aljazair negeri yang kaya raya laksana sedang mengalami kekosongan spirit rohani. Kemauannya untuk menjadi negeri induk kebudayaan Islam secara tersirat menunjukkan bahwa mereka sedang menyadari ada sesuatu yang hilang dalam dirinya yaitu seni dan budaya. Di Constantine saya memasuki gedung teater bangunan tahun 1831 yang tetap megah namun tidak memiliki lagi jadwal tetap pementasan seperti halnya gedung-gedung teater di Jakarta. Hal yang sama saya lihat di Telemcem yang baru dua tahun membangun gedung teater modern dengan fasilitas lighting dan sound system dan akustik canggih, namun grup-grup yang mengisi sangat kurang.
Ingat itu semua saya jadi ingat, betapa mahalnya seni budaya di Indonesia yang begitu banyak terserak dari Sabang sampai Merauke, dari yang sangat tradisional, klasik, sampai seni-seni gaya kontemporer, modern dan sangat modern tersedia. Dengan begitu sungguh sebuah kecerobohan yang sangat besar bila kita tidak merawat dan mengembangkan seni budaya yang kita miliki. Kekayaan budaya tidak kalah mahalnya dengan kekayaan alam, bahkan kekayaan budaya akan terus terukir dan abadi sebagai monomen kemanusiaan karena kebudayaan berkaitan dengan daya-daya kreativitas manusia. Seni wayang kulit, wayang wong, ketoprak, rodad, paksimoi, kudang kepang, dan sejenisnya jelas membuat iri bangsa-bangsa lain di dunia. Apabila kebutuhan dasar sandang pangan papan sudah terpenuhi, pada akhirnya manusia membutuhkan aktualisasi diri. Seni dan budaya adalah media ekspresi paling populer dan paling efektif untuk dimasukinya.
Kelima, karena kreativitas petani tidak tersalurkan bebas, maka komoditas pertanian menjadi sangat terbatas. Lebih-lebih bahan makanan pokok disubsidi pemerintah lebih dari 50 % sehingga tidak ada inovasi-inovasi produk pertanian.
“Pengangguran ada tetapi sangat kecil persentasinya. Pembangunan jalan tol, jembatan, dan kilang-kilang minyak banyak mendatangkan tenaga asing termasuk tenaga dari Indonesia yang banyak bekerja di tambang dan properti”ujar Pak Rokhim, juru bicara Kedutaan Besar Ri di Aljazair.
Komoditas pertanian unggulan adalah korma, ternak unggulan adalah kambing lengkap dengan kulinernya sate kambing guling Afrika yang empuk gurih dan segar. Pariwisata yang paling terkenal selain gurun Sahara dengan pasirnya yang beraneka rupa dan warna, juga ada gua stalaktit Mahara seluas 14.000 m2 atau terbesar kedua setelah gua sejenis di Mexico namun jenis dan warna stalaktitnya terbanyak di seluruh dunia, museum Kesultanan Utsmani , serta aneka wisata pantai di laut Tengah yang hampir sepertiganya milik Aljazair.
China adalah Negara yang paling agresif melakukan investasi di negeri ini baik bidang pertambangan, industri maupun perdagangan. Indonesia melalui BUMN PT Wahana Karya dipercaya mengerjakan jalan-jalan tol, sementara Pertamina sedang melakukan pembicaraan untuk kemungkinan mengekplorasi ladang minyak.
Yang membuat tidak betah di negeri ini adalah kebiasaan hidup bersih masih berada di bawah masyarakat kita, itu bisa dilihat dari bagaimana mereka berpakaian, mobil-mobil yang tidak dicuci, dan kondisi kamar mandi dan WC umum yang di mana-mana selalu kotor.
Juga soal makanan (kuliner), variannya sangat terbatas. Di mana-mana makanan hanya roti, daging, ikan, dan salad. Jauh berbeda dengan Indonesia yang bisa makan 1000 macam dalam satu hari dengan mudah akan tersedia. Jadi, Indonesia tetap jauh lebih hebat dari negeri mana pun. Dieng, Serayu, Gumelem, Pandanarum, tetap yang terindah.
Yang di rumah tetap yang paling ngangeni…***
Oleh : Hadi Supeno
Penulis adalah Wakil Bupati Banjarnegara, Ketua Dewan Pembina
Yayasan Kreativitas Budaya Indonesia.
suarajateng.com