Melongok Rumah Batik Wardah | Suara Jateng
Berita Utama :

Melongok Rumah Batik Wardah

Batik merupakan hasil kebudayaan asli bangsa Indonesia yang mempunyai nilai tinggi dan dikenal masyarakat Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu. Awalnya hanya digunakan untuk pakaian raja-raja di Jawa pada jaman dahulu. Kini, batik berkembang menjadi pakaian sehari-hari masyarakat Jawa, bahkan batik sudah menjadi pakaian nasional bagi masyarakat Indonesia dan digemari oleh masyarakat mancanegara.

Di daerah-daerah tertentu saat ini banyak dijumpai industri batik yang umumnya masih bersifat tradisional sebagai pekerjaan sambilan. Hasil kerajinan batik tradisional tersebut mempunyai gaya, corak, motif dan pewarnaan yang khas dan berbeda-beda.

clip_image002

Banjarnegara dengan Gumelem sebagai sentranya juga memiliki motif dan pewarnaan yang berbeda dengan daerah lain seperti Yogyakarta, Surakarta dan Pekalongan. Khas batik Gumelem banyak menampilkan warna-warna gelap seperti hitam dan coklat tua, sedangkan motifnya lebih banyak diambilkan dari alam sekitar.

Sejak tahun 2004, batik di daerah Kabupaten Banjarnegara menunjukkan adanya perkembangan yang cukup menggembirakan. Data yang diperoleh dari Bagian Perekonomian Setda Banjarnegara menyebutkan, hingga kini jumlah pengrajin batik tulis Gumelem tercatat sekitar 400 orang dari jumlah semula pada tahun 2003 yang hanya 22 orang.

Triono dari Desa Panerusan Wetan, Kecamatan Susukan adalah salah satu pengrajin yang ikut nguri-uri keberadaan batik tulis “Gumelem”. Penulis ketika berkunjung ke rumah batik “Wardah” milik Triono nampak beberapa ibu rumah tangga sedang sibuk dengan cantingnya masing-masing. Mbah Narisem yang sudah puluhan tahun membatik, kala itu sedang mengerjakan batik dengan motif Parang Mrica.

Tangan keriput nenek berusia 75 tahun itu sepertinya tidak mengenal lelah menggoreskan canting segaris demi segaris di atas kain mori berwarna putih. Ini memberikan pertanda bahwa perubahan jaman yang sudah begitu pesat, ternyata tidak melunturkan kecintaannya pada dunia batik tulis Gumelem.

Kami baru dua tahun mengembangkan batik tulis “Gumelem”, ucap Triono selaku pemilik Galeri Batik “Wardah” mengawali perbincangannya. Meski baru dua tahun berdiri, tetapi dalam setiap bulannya batik “Wardah” sudah mampu menjual lebih dari 700 lembar batik, ucap Triono kepada suarajateng.com.

Menyinggung tentang motif batik Gumelem, menurut Triono dibagi menjadi dua, yaitu Batik klasik dan Batik modern. Batik klasik mempunyai nilai dan cita rasa seni yang tinggi karena proses pembuatannya yang cukup rumit dan membutuhkan waktu berminggu-minggu. Karena itu harganya juga cukup mahal.

Batik klasik mempunyai pola-pola dasar tertentu dengan berbagai macam variasi motif, seperti kawung , parang, titik, truntum, ceplok dan tambal. Bahan dasar batik adalah kain katun putih kualitas halus atau bahan kain sutra putih. Batik dengan bahan sutra akan menghasilkan warna yang lebih hidup.

Lain batik klasik lain pula batik modern, pewarnaan pada batik modern tidak tergantung pada pola-pola dan pewarnaan tertentu seperti pada batik klasik. Namun desainnya dapat dibuat dengan beraneka macam corak.

Batik modern juga menggunakan bahan-bahan dan proses pewarnaan yang mengikuti perkembangan bahan-bahan pewarnaannya. Terkadang penggunaan canting sudah tidak diperlukan lagi, canting dapat diganti dengan kuas, sedangkan untuk pewarnaan kadang diterapkan langsung dengan menggunakan kapas atau kain. Dengan kata lain, proses pembuatan batik modern hampir seperti batik klasik, hanya desain dan pewarnaannya terserah pada cita rasa seni pembuat dan bahan-bahan pewarna yang digunakannya.

 

Batik Wardah sendiri, kecuali memproduksi batik tulis murni, memproduksi pula batik cap, semi batik tulis dan batik printing. Adapun jumlah batik yang diproduksi dalam setiap bulannya mencapai sekitar 712. Terdiri dari batik tulis murni sebanyak 12 lembar, semi batik tulis sebanyak 200 lembar dan batik printing sebanyak 500 lembar. Produksi batik sebanyak itu dikerjakan oleh 40 orang pembatik dan 2 orang tenaga pewarnaan.clip_image004

Selama ini Triono memang mengakui rasa kekhawatirannya akan keberadaan batik tulis Gumelem, karena pelaku seni rupa dua dimensional itu rata-rata didominasi oleh pembatik berusia 50 tahun ke atas dan hanya sedikit sekali pembatik yang berusia 50 tahun ke bawah.

Karena itu dalam rangka ikut melestarikan keberadaan batik tulis Gumelem, Triono dan Nanik Suparni telah melakukan regenerasi dengan melatih beberapa generasi muda di sekitarnya, termasuk memberikan kesempatan kepada para siswa yang ingin belajar membatik, katanya.

Menyinggung tentang memasaran, selama ini tidak ada masalah kerena para pembeli pada umumnya datang sendiri ke lokasi. Sebagian besar hasil produksinya adalah berdasarkan pesanan dan sebagian lagi ada yang memasarkan di daerah Semarang dan Jakarta. Batik produksi Wardah di jual dengan harga antara Rp 150 ribu hingga Rp Rp 500 ribu.

Adapun motif yang sering diproduksi Wardah diantaranya Dawet Ayu, Salak Langsat, Salak Kawung, Buah Naga, Semanggen Kembar, Pisang Bali, Pakis Haji, Sirongge, Raflesia, Rumpt laut, Pring Sedapur, Pring Setetek, Parang Mrica, Laras Pongas, Sekar Kupu dan motif lainnya.(s.bag).

suarajateng.com

Dimuat oleh Unknown pada Senin, 28 Januari 2013 | 00.32 |Kirim Berita Anda

Bagikan tulisan ini :
0 Komentar
Tweets
Komentar

0 komentar:

Bagaimana menurut anda ?

Apa yang anda pikirkan silahkan ditulis dikomentar !


X Terimakasih Kunjungannya
 
Copyright © 2013 Suara Jateng