Malaysia dan Semangat Melayu | Suara Jateng
Berita Utama :

Malaysia dan Semangat Melayu

Saya telah menyaksikan kemajuan, kehebatan dan modernisasi beberapa Negara Eropa, bahkan Eropa Timur sekalipun. Saya juga telah melihat kota-kota di Jepang yang memang menjadi pioner teknologi sejak awal abad XX. Tetapi belum pernah dalam kekaguman itu berbaur dengan amarah, gusar, malu, dan mungkin sedikit inferior.tulah yang terjadi setiap kali saya datang ke Kuala Lumpur.  image

Saya datang pertama bersama rombongan peserta pendidikan Lemhannas untuk belajar sistem pemerintahan bulan Juli 2008. Datang kedua bersama Tim Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selama sepekan di bulan November 2010 untuk belajar tentang Perintah Khitmat Masyarakat (PKH) atau sistem peradilan anak. Dan ketiga, awal November 2012 untuk melakukan promosi dan studi banding pariwisata bersama rombongan Java Promo.

Setiap kali datang selalu saya sempatkan menyaksikan pertumbuhan kota Kuala Lumpur, dan juga kota-kota lain di Malaysia seperti Malaka dan Putrajaya. Ini menyempurnakan kesan saya tentang Malaysia setelah saya mengunjungi kota Tebedu yang berbatasan dengan Entikong di Kalimantan Utara pada tahun 2010.

Menakjubkan

Putrajaya sebagai ibu kota Malaysia yang baru adalah simbol modernitas Malaysia yang sangat futuristik. Pusat pemerintahan yang dibangun 17 tahun lalu ini sungguh menakjubkan. Sebuah kota baru, yang hadir dengan rancangan visioner, sebagai pusat pemerintahan yang komplet, infrastruktur jalan-jalan raya yang lebar dan kuat, bangunan megah menyatu dalam satu kompleks, keseimbangan lingkungan di mana hutan kota tetap terjaga, serta taman indah menggambarkan istana impian yang selama ini hanya kita imaginasikan dalam dongeng-dongeng sebelum tidur. Ada istana raja, danau buatan, jembatan dengan arsitektur nan elok, masjid baja, dan tempat konvensi berkelas internasional terbesar di puncak bukit yang sangat megah, tidak kalah dengan gedung-gedung konvensi internasional di markas Perserikatan bangsa-Bangsa, Geneva, Swiss. Tidak jauh dari istana Putrajaya terdapat sirkuit Sepang yang setiap kali berhasil menggiring wisatawan berkualitas menyaksikan balap Motto GP dan F1.

Jalan tol tak pernah macet karena teknologi diperankan secara optimal. Tak ada antrian-antrian panjang di gerbang tol, karena hanya dengan kartu E-tol gerbang akan membuka sendiri tanpa pengemudi harus berhenti.

Di Malaka peninggalan-penginggalan masa penjajahan Portugis masih terawat apik. Museum-museum berderet di kanan kiri jalan, bersih dan dikunjungi banyak wisatawan. Kota tua masih terjaga, mengawal mitos Kota Malaka yang memiliki tokoh legendaries Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Leukir, Hang Kesturi, dan Hang Hang yang lainnya.

Dan tentu saja, Kuala Lumpur menjadi pusat kemajuan di Malaysia, dengan ikon Twin Tower Petronasnya yang memaksa orang untuk kagum. Kemajuan Kuala Lumpur menurut saya tidak kalah dengan Singapura, bahkan dalam beberapa hal sudah meninggalkan Singapura.

Serba pulsa

Kemajuan Malaysia bukan hanya terukur dari menjulangnya menara kembar Petronas yang menjadi pusat bisnis dan menghadirkan turis, tetapi juga sikap masyarakat yang sudah teknologi mainded serba elektronik. Seperti halnya di Singapura, moda transportasi telah disatukan dengan kartu pulsa yang dengannya bisa naik bus atau kereta bergantung isi pulsa. Kemacetan ada, tetapi terkendali hanya pada jam-jam berangkat kerja dan pulang kerja pada ruas jalan tertentu.

Bangunan bandaranya pun (Kuala Lumpur International Airport) begitu megahnya. Selain dilayani taxi yang mudah didapat, juga bus-bus yang siap mengantar penumpang setiap saat. Lebih dari itu, ada kereta yang menghubungkan langsung pintu bandara dengan pusat kota, di mana para penumpang pesawat tidak perlu repot-repot berfikir macet karena dengan kereta ini dijamin 28 menit perjalanan menuju bandara akan sampai. Bagi penumpang Malaysia Airline bahkan bisa check in city di tempat ini, sehingga begitu sampai di bandara tinggal menuju ruang tunggu.

Pendek kata, Malaysia sungguh-sungguh telah menjadi negara serba computer, serba teknologi, serba pulsa, yang tidak kalah dengan negara-negara maju lainnya. Masyarakat telah tunduk para arah negerinya, mereka antre di mana-mana, beli tiket komuter transportasi dengan teknik canggih, merawat kota dengan kebersihan di mana-ma termasuk merawat sungai-sungai yang mengalir di tengah kota.

Tak pelak, bila turis asing berbondong-bondong mengunjungi negeri ini, juga pebisnis yang merasa dimewahi dengan aneka kemudahan teknologi. Dalam setahun 24.000.000 (dua puluh tiga juta) turis asing mengunjungi negeri berpenduduk 28.000.000 (dua puluh delapan juta) jiwa. Maka di Kuala Lumpur, di Putera Jaya, atau di Malaka, dengan mudahnya kita bertatap muka dengan orang Eropa, Jepang, atau Timur Tengah. (Bandingkan dengan Indonesia, dengan jumlah penduduk 240 juta, turis asingnya hanya 7 juta orang).

Mengapa malu?

Mengapa saya marah, malu, dan rendah diri? Karena Malaysia adalah rumpun Melayu. Sebagai sesama warga rumpun Melayu saya bangga, bahwa orang Melayu itu bisa maju, tidak hanya orang Eropa atau Amerika. Namun sebagai orang Indonesia, saya malu dan marah karena saya berfikir, mengapa kemajuan itu, kejayaan itu, tidak hadir di Indonesia?

Dengan mudah saya membandingkannya. Jakarta yang macet di semua sudut kota. Masyarakatnya yang masih sulit amat dibawa dalam tekno community, banjir di setiap hujan tiba, moda transportasi yang tidak ada terobosan memadai, masyarakat yang sulit diajak disiplin, sampah berceceran di mana-mana, merokok sembarang tempat dan sebagainya.

Kita bangga punya Candi Borobudur yang megah dan begitu sulitnya dibangun untuk masanya. Kita punya Bali dan Lombok yang eksotik, Namun kita berhenti pada kebanggaan masa lalu. Hanya merawat pun kadang-kadang gagal melakukannya. Kebanggaan-kebanggaan itu belum meng-inspiring untuk membangun karya-karya simbol peradaban baru.

Indonesia boleh bangga dengan Borobudur yang dibuat nenek moyang kita 14 abad yang lalu, dan kita mengambil keuntungan darinya, sementara Malayisa membuat kebanggaan baru hari ini untuk diwariskan kepada generasi mendatang; memajukan negeri tanpa hutang, membangun sistem kehidupan modern dengan dukungan teknologi, dan dua menara setinggi 454 meter yang membelah langit, yang menyatukan rakyat Malaysia dari berbagai identitas untuk dengan bangga berkata, “Inilah Malaysia, saya bangga memberikan warisan kepada generasi muda”.

Dari segi potensi sumber alam, sumber daya manusia, dan budaya, Indonesia mestinya bisa jauh lebih maju daripada Malayisa. Nyatanya tidak! Saya berani berkata dengan penuh rasa tanggung jawab, Malaysa kini telah melaju. Kita punya utang, mereka tidak. Pendapatan mereka per kapita telah mencapai 7000 US Dollar, kita baru 3000 US Dollar. Mata uang mereka 1 ringgit disamakan dengan Rp 3.500. Kemajuan fisik, psikis, dan sosial, mereka telah jauh menyalip Indonesia. Padahal, untuk diingat, tahun 1960-an sampai 1970-an, Indonesia mengirim begitu banyak guru-guru ke Malaysia utamanya untuk guru SMP dan SMA. Namun kini berbalik, kita harus berguru kepada mereka. Sampai urusan sepak bola, kita selalu kalah melawan kesebelasan Malaysia.

Lalu apa kunci kemajuan Malaysia? Kepemimpinan! Percayalah, itu karena kepemimpinan. Malaysa mengalami masa kejayaan kemajuan pada masa kepemimpinan Dr. Mahathir Muhammad. Ia sosok terpelajar, berwibawa, nasionalis, dan lebih dari itu ia punya visi yang jelas bagaimana menjayakan bangsanya.

Ia berani melakukan investasi membangun menara kembar yang setiap hari ribuan orang datang untuk menyaksikannya. Ia berani menetapkan slogan Malaysia sebagai “Truly of Asia”. Dan ia berani melawan negara-negara maju yang sok menggurui namun diam-diam menyimpan ambisi untuk tetap menghegemoni negeri ini.

Hasilnya, Kalimantan menanam cacao (coklat) namun Malaysialah yang memiliki pabrik coklat terbesar di kawasan Asia, dan berambisi mengalahkan Swiss. Semua wisatawan, termasuk saya dipaksa mengunjungi rumah coklat, lalu dengan sukarela membeli coklat-coklat itu dibawa ke tanah air dengan harga yang cukup mahal, padahal di Kalimantan biji cacao berserak banyak.

Aceh dan Lampung penghasil kopi terbaik di dunia, dibawa ke Malaysia, lalu semua wisatawan, termasuk saya, dipaksa mengunjungi rumah kopi, menyaksikan bagaimana mereka mengemas kopi dengan sangat bagus, merangsang siapapun untuk mencobanya, setelah itu dengan sukarela membeli aneka produk kopi yang bahannya ada di Karangkobar, Wanayasa, Punggelan, dan daerah lain di tanah air.

Di lokawisata Tanah Genting yang menjadi pusat perjudian terbesar di Asia Tenggara pun, Malaysia sangat cerdik. Mereka giring para penjudi dari Indonesia untuk sepuas-puasnya melakukan maksiat di sana, namun semua pengunjung harus membawa paspor. Warga Malaysia sendiri dilarang mengunjungi lokasi tersebut. Alhasil, di Tanah Genting itu, isinya orang China, Vietnam, atau Thailand, serta wajah-wajah orang Melayu namun bukan Melayu Malaysia, melainkan Melayu Indonesia Raya.

Kepemimpinan

Apa kata kunci sukses Malaysia untuk menuju kemajuan, kemakmuran dan keadilan? “kepemimpinan. Kami punya pemimpin kuat, dengan visi yang jelas, sehingga kami pada akhirnya memberikan dukungan optimal,” kata Dr. Gazali, warga Malaysia keturunan Indonesia pengajar di beberapa perguruan tinggi yang hidup berlimpah harta dari panenan kelapa sawit dari kebun milik keluarganya.

“Malaysia berani berinvestasi. Tidak ada pariwisata tanpa investasi, karena pariwisata memang membutuhkan hal-hal yang spektakuler. Namun hasilnya juga luar biasa, karena pariwisata akan menyeret pertumbuhan bidang-bidang lain seperti industri hotel, makanan, transportasi, souvenir, hiburan, dan sebagainya,” kata Mr Abel, Ketua Visit Indonesia Travel Organization (VITO) dalam dialog travel Indonesia-Malaysia di Hotel Radius Internasional.

“Tidak kalah pentingnya adalah menjaga dan mengembangkan keunikan-keunikan yang ada. Kami hadir hanya ingin melihat keunikan, jadi janganlah hal-hal yang unik dihapus, itu tidak ada lagi yang menarik,” tambahnya.

Diakui, Malaysia sering mengklaime karya-karya seni milik Indonesia karena banyak warga Malaysia keturunan Indonesia yang merawat dan mengembangkan jenis kesenian tersebut. Dengan jumlah 28 juta wisatawan setahun, berarti butuh suguhan-suguhan yang unik, dan itu antara lain ada pada jenis-jenis kesenian asal Indonesia. Reog dan kuda kepang yang di negeri ini disia-siakan, di Malaysia dikemas apik menjadi suguhan menarik bagi para wisatawan.

Formula lain dari negeri para sultan ini adalah, pengembangan wisata eko, yakni mengintegrasikan berbagai kekuatan alam, lingkungan, pertanian dan budidaya. Hasil-hasil pertanian semua dikemas menjadi sajian wisata. Maka kebun-kebun pun enak dipandang, kemasan hasil olahan bahan makanan bukan hanya dikemas kuat dan aman tetapi juga indah sampai membuat kita penasaran, padahal isinya masih jauh lebih enak bolu-bolu bikinan ibu-ibu PKK di Indonesia.

Wisata kurban

Bagaimana dengan kunjungan warga Malaysia ke Indonesia? “Belum banyak, bahkan cenderung menurun. Itu karena tidak ada promosi. Di hotel, di bandara, bahkan di web, kami sulit menemukan promosi tujuan wisata di Jawa Tengah-DIY. Padahal promosinya mudah karena sama-sama bangsa Melayu dan sama-sama mayoritas penduduknya beragama Islam,” tambah Hasyim Hamsyah salah satu pimpinan biro perjalanan di Malaysia.

Dia menambahkan, kerja sama pariwisata Malaysia dengan Java Promo adalah wisata kurban. Banyak orang Malaysia yang ingin berkurban hewan pada bulan Dzulhijjah di pesantren Indonesia. Bila bisa digarap, ini peluang wisata luar biasa, yakni menangkat wisata sambil beribadah.

Sama halnya dengan para pelaku pariwisata di Thailand, mereka juga siap melakukan fan trip (kunjungan penjajagan) ke Indonesia untuk menyusun paket-paket wisata yang mungkin dalam jaringan Java Promo. Mereka siap mengarahkan wisatawan Malaysia yang dalam setahun mencapai 1 juta orang untuk mengunjungi destinasi anggota Java Promo termasuk Banjarnegara.

Hampir semua peserta dialog travel bertanya, apakah sudah tersedia akomodasi dan tempat belanja yang memadai? Sebab setiap wisatawan memimpikan pengalaman baru dalam layanan istirahat, makanan, dan oleh-oleh khas dari destinasi yang dikunjungi.

Atas pertanyaan ini, saya tidak bisa menjawab. Sebab dalam hal tempat belanja yang representatif, kita belum siap. Juga akomodasi yang masih sangat terbatas. Juga sikap mental masyarakat untuk sadar wisata yang belum sepenuhnya mendukung. Jadi kita memang masih harus bekerja keras, membenahi banyak hal untuk menjadikan Banjarnegara sebagai tujuan wisata masa depan yang menjanjikan.

Jadi Malaysia menjadi tujuan wisatawan bukan hanya karena lokasi judi di High Land (tanah genting), tetapi juga ada sarana dan prasarana infrastruktur pendukung lainnya yang memungkinkan untuk menjadi besar.

Sikap optimisme kita adalah, kalau Malaysia sebagai bangsa rumpun Melayu bisa, maka Indonesia sebagai sesama bangsa Melayu juga bisa. Syaratnya; kepemimpinan yang kuat, visi-misi yang jelas, berani investasi, gencar berpromosi, menjaga dan mengembangkan nilai-nilai unik, serta optimalisasi partisipasi masyarakat.

Bila ada yang tidak perlu dicontoh dari Malaysia adalah, sukanya meledek kita, mengolok-olok sebagai bangsa indon. Sukanya mereka melecehkan para TKI. Padahal, tanpa TKI ekonomi Malaysia akan kacau karena ada 2 juta warga Indonesia di Malaysia.

Ayolah belajar dari negeri tetangga. ***

hadi supeno

Oleh : Hadi Supeno

Penulis adalah Wakil Bupati Banjarnegara,

Ketua Dewan Pembina Yayasan Kreativitas Budaya Indonesia.

suarajateng.com

Dimuat oleh Unknown pada Kamis, 07 Februari 2013 | 22.33 |Kirim Berita Anda

Bagikan tulisan ini :
0 Komentar
Tweets
Komentar

0 komentar:

Bagaimana menurut anda ?

Apa yang anda pikirkan silahkan ditulis dikomentar !


X Terimakasih Kunjungannya
 
Copyright © 2013 Suara Jateng