“ K i n a n ”
Oleh : Rahmat Petuguran
Di atas kapal hanya wajah papanya yang Kinan ingat. Laki-laki itu terasa begitu dekat sekaligus begitu jauh. Kesalahan besar telah Kinan lakukan pada papanya tiga tahun silam. Kesalahan yang bahkan tak tertebus dengan perjalanan seminggu Tanjung Emas - Biak.
Tiga tahun lalu Kinan menerima panggilan dari Dinas Pendidikan Biak Numfor. Aplikasi beasiswanya untuk belajar di universitas keguruan di Semarang diterima. Kesempatan mengenyam pendidikan berkualitas, terbuka. Sejak dulu sudah beredar kabar, kampus di Jawa bagus-bagus. Bahkan jauh lebih bagus dari kampus terbagus di Papua: Universitas Cendrawasih.
“Mama, Kinan bisa belajar di Jawa sekarang,” kata Kinan sepulang dari kota. Mamanya mendekat, sambil menggendong si bungsu yang berumur 4 tahun.
Kinan dan mamanya paham, tantangan terbesarnya akan datang dari Papa Wayeni. Memperoleh izin dari papanya, jauh lebih berat dari memenangi persaingan dengan pelamar beasiswa lain. Mamanya paham kondisi itu.
“Biar nanti mama bantu bilang sama Papa Wayeni,” jawab mama.
Sabtu malam, desa Sapuyone tenggelam oleh pesta. Semua orang bergembira. Daging, minuman, dan ubi-ubian tersaji bersama sopi, minuman keras khas Papua. Kinan berpikir, inilah saat yang tepat meminta restu pada papanya, Papa Wayeni.
Kinan merasa kikuk harus berterus terang. Di mata Kinan papa Wayeni lelaki yang amat terhormat. Dia mengormati Papa Wayeni, setidak-tidaknya sama dengan rasa hormat yang ditunjukan warga desa. Lebih dari itu, Kinan sebenarnya tak ingin membuat papanya terluka. Berpisah dengan anak gadis satu-satunya selama 4 tahun, bakal menyaktikan.
Oleh warga papa Wayeni diangkat menjadi pemimpin. Itu karena kejadian yang tidak disengaja. Dua truk tentara, pada sebuah pagi yang tak terduga, datang mengacak-acak desa. Mereka menodongkan laras panjang meski tak satu pun memuntahkan pelurunya. Berteriak-teriak mereka menyebut “pemberontak” berulang-ulang.
Papa Wayeni datang menghampiri komandan.
“Tak ada pemberontak di sini. Kalian pergi lah dari desa kami,” katanya.
Tentara tak langsung percaya. Dua tentara masuk menggeledah rumah Kinan. Dan celaka, mereka menemukan bintang kejora. Itu bukti yang cukup buat para tentara. Seperti telah terencana, mereka membawa papa Wayeni pergi. Dia kembali keesokan hari. Papa Wayeni tak bisa berjalan. Kedua kakinya ditembak. Itu kejadian lima tahun silam. Kinan masih SMP.
“Papa sudah tak sakit kan?” tanya Kinan sangat pelan. Suaranya nyaris tenggelam oleh sorai warga yang berpesta.
Papa Wayeni memegang lengan Kinan, membimbingnya duduk di sebuah bongkah batu, persis di depannya.
“Seberapa pun sakit. Kalau ada Kinan, jadi hilang semua...”
Kinan menatap wajah papanya dengan tajam. Ia coba menguatkan diri untuk meminta restu pergi ke Jawa. Tapi rasa takut berlebih membuat lidahnya kaku. Ia khawatir Papa marah-marah. Lebih-lebih Kinan izin pergi ke Jawa.
Jawa, bagi Papa Wayeni, sudah kelewat jeleknya. Jawa itu jahat. Orang-orang Jawa jahat. Dari Jawa lah tentara dikirim ke Papua. Orang-orang Jawa datang mendirikan toko di sepanjang jalan. Mereka membikin desa sendiri, dengan gedung berlantai dua, jauh dari desa.
“Tidak semua orang Jawa begitu,” jawab mama Kinan, tiap kali papa Wayeni mengumpati orang Jawa. Mama Kinan bernama Inayah, perempuan asal
Tulungagung. Karena itulah ia memberi nama anak gadisnya Kinan, nama yang nyaris tak ada kembarannya di Papua.
“Ya, kecuali kau,” jawab Papa Wayeni.
Papa dan Mama Kinan dipertemukan oleh jodoh. Tahun 70-an terjadi gelombang transmigrasi. Kedua orang tua mama Kinan termasuk salah satunya. Mereka datang ke Biak dengan belasan keluarga lain. Tanpa persiapan panjang mereka menggarap lahan liar. Setelah panen perdana baru mereka membangun rumah gedung dengan teras agak lebar.
Ayah orang tua mama Kinan, sebutlah kakek Kinan, tak mau kembali ke Jawa. Betapa pun ia sebenarnya merindukan kampung di Tulungagung, dia bersumpah tak akan pulang. Dia kelewat trauma dengan teror-teror yang bertahun-tahun tahun diterima.
Teror bermula akhir tahun 60-an. Seorang laki-laki menaruh karung berisi kepala manusia di pojok halaman. Hari berikutnya, seluruh sapinya disembelih. Pelaku memisahkan kepala dengan badan dan meninggalkan begitu saja. Puncaknya terjadi pada malam hari. Puluhan orang membawa celurit menyerbu rumah. Mereka membawa kakek Kinan dengan truk besar. Pagi hari kakek Kinan pulang dengan badan menggigil. Sabetan celurit membekas di punggung.
Kakek Kinan sadar aktivitasnya politiknya yang membuat dirinya menerima teror. Demi keselamatan keluarga, ia memilih pergi jauh. Pilihan jatuh ke Biak, tempat yang bahkan harus ditempuh sehari dari Manokwari.
Kakek Kinan meninggal ketika Kinan belum lahir. Ia dikebumikan di sebuah pemakaman umum lintas agama. Dua tahun kemudian, mama Kinan menikah dengan papa Wayeni, pemuda desa perantau dari Manokwari.
“Papamu jarang mandi, tapi dia baik sama mama,” kata Mama Kinan pada malam-malam di mana Kinan sulit tidur.
“Waktu kamu masih dalam kandungan, mama nyidam madu. Tapi papamu tak pintar cari madu. Badannya kelewat besar untuk naik pohon. Akhirnya dia ajak semua kawan-kawannya ke hutan. Mereka tak pulang seharian. Jelang petang papamu datang membawa satu ember madu. Badannya bengkak di sana sini disengat lebah.”
“Mama sayang Papa Wayeni?” pertanyaan Kinan terjawab oleh helaan nafas panjang. Mama Kinan seperti coba merenungkan sesuatu.
“Iya, Kinan. Kecuali saat dia menghardik orang Jawa.”
“Kenapa Papa benci orang Jawa?”
Mama Kinan, untuk kedua kalinya, menarik nafas panjang. Ia memandangi Kinan, berpikir apakah tepat mengajak anak remaja seusia Kinan bicara soal politik.
“Kakekmu dari Papa Wayeni juga punya nasib yang sama dengan kakek dari mama. Mereka punya imajinasi menjadikan negeri ini lebih baik. Tapi orang lain tak suka dengan gagasan mereka.”
Saat itu Kinan tak mengerti maksud mamanya. Kemudian hari ia mencari tahu sendiri, apa yang dilakukan kakeknya dari Papa Wayeni.
Dulu, tak terang tahunnya, kakek Kinan dari Papa Wayeni tinggal di Manokwari. Bersama ratusan orang lain ia bergerilya. Citanya-citanya membikin tanah Papua merdeka. Dalam bahasa lain, mereka tak ingin kekayaan tanah Papau disedot dibawa entah ke mana.
Kakek Kinan menjadi tentara organisasi. Dia yakin kebebasan Papua adalah jalan paling baik. Sekalipun tak menjanjikan kesejahteraan, pembebasan bisa menghindarkan mereka dari sakit hati. Sakit hati lantaran mereka jadi kuli di kampung sendiri.
Ada pertempuran sore hari di Arfai. Kakek Kinan menghadang rombongan tentara. Seperti penghadangan lain, mereka tak menghitung jumlah lawan. Penyerangan dilakukan secara sporadis. Kakek Kinan tewas. Sudah jadi kebiasaan, keluarga hanya dikirimi bendera sebagai pembawa kabar duka. Itulah bintang kejora yang disimpan papa Wayeni sebagai kenangan.
Tentara agaknya punya dendam. Mereka memburu keluarga Kakek Kinan, bahkan jauh hingga ke Biak. Itulah kenapa dua truk tentara menyergap desa beberapa tahun lalu. Mereka membawa Papa Wayeni dan melumpuhkan kedua kakinya.
Sorak-sorai masih terdengar dari kerumunan pria-pria yang berpesta. Kinan menatap wajah papanya dengan tajam.
“Papa, Kinan ingin belajar ke Jawa. Kinan baru dapat beasiswa kuliah di sana. Empat tahun.”
Papa Wayeni menaruh gelas berisi sopi. Seperti dugaan Kinan, papa Wayeni marah. Wajahnya memerah.
“Kinan ingin tinggalkan Papa? Mau cari apa di sana? Kau ingin belajar dari orang-orang jahat itu? Tak puas kau hidup sama papa, sama mama?”
Kinan tertunduk. Itu pilihan terbaik.
“Sudahlah. Orang-orang Jawa sudah meracuni kau. Mereka ingin merebut kau dari kami. Mereka tahu kau pintar. Mereka tak ingin kau membangun Papua.”
Papa Wayeni berusaha berdiri. Tapi kedua kakinya sudah lama mati.
“Kau tahu, siapa yang bikin papa begini? Kau tahu siapa yang membunuh kakek kau? Kinan, kau tidak bakal dapat apa-apa di sana. Belajarlah di ini, belajar bersama orang-orang Papua.”
Kinan masih tertunduk.
“Mereka sudah minta terlalu banyak dari Papua. Jangan kau pergi juga.”
***
Di balik jendela asrama Kinan memandangi langit. Praktik microteaching membuatnya pulang lebih sore. Teman-teman Kinan sesama mahasiswa Papua menggedor pintu.
“Kau sudah baca ini?” Mereka menunjukan layar ponsel. Kinan bergegas.
“Mereka membawa papa lagi, Kinan. Mama tidak tahu harus bagaimana.”
Banjarnegara, 1 Oktober 2012, Suara Merdeka, 4 November 2012
Surahmat, penulis kelahiran Banjarnegara 1988, kini bermukim di Semarang.
Bergiat pada komunitas Nawaksara.
Menulis esai pendidikan dan kebudayaan di berbagai surat kabar.
Novelnya berjudul Bonang terbit tahun 2009 oleh Cipta Prima Nusantara.
suarajateng.com