SEJAK Bondan Winarno mengasuk acara safari makan-makan di stasiun televise swasta, dengan ikon ungkapannya yang ‘mak nyuusss”, istilah kuliner menjadi sangat akrab dengan telingan kita. Dari pejabat tinggi hingga masyarakat awam, komunitas sosialita hingga rakyat jelata, warga Jakarta hingga desa-desa, semua dengan mudahnya bicara soal kuliner. Bila mengajak makan teman menyebutnya akan mengajak kuliner.
Istilah kuliner sebenarnya berarti seni menyajikan makanan. Jadi bukan makanannya atau makan ansich, melainkan seni, tata cara, tradisi, bahkan di Negara-negara tertentu menjadi upacara adat/tradisi. Kekuatan kuliner tidak pada menu makanannya yang harus mewah dan berlimpah, tetapi pada gaya menyajikan, tata cara mengkonsumsinya, serta ada pengertian makan bersama, yang dalam bahasa jawa keraton/karma disebut andrawina atau kembul bujana.
Memang, keraton/istana-istana kerajaan adalah tempat yang paling banyak memiliki perbendaharaan kuliner. Jepang adalah negeri yang juga kaya akan kuliner sampai ke masyarakat yang paling bawah, dengan menu yang sangat sederhana yakni minum teh. Tikar (tatami) ditata rapih, orang-orang menghadap meja kaki rendah yang di tempat kita disebut lesehan. Para pelayan perempuan berpakaian tradisional kimono, datang membungkuk hormat lalu menyajikan minuman teh (ocha) pada poci, dan para tamu meminum sedikit demi sedikit dari cangkir kecil. Mereka menyebutnya sebagai chanoyu, atau upacara minum teh, sebagai penanda penghargaan kepada tamu yang dihormati. Di negeri ini hampir tidak ada makanan enak, yang ada makanan yang huenak sekali. Sebutlah sushi, takoyaki, teriyaki, sashimi, tempura, udon, ramen, yakiniku, dan sebagainya.
Negara-negara lain yang kuat seni kulinernya adalah China, Thailand, India, dan hampir semua Negara Eropa, karena kebanyakan bentuk negaranya kerajaan. Kita juga mengenal begitu banyak makanan dari Negara-negara yang kaya akan seni kuliner. Dari China kita kenal ada makanan kwetiau, satai, bakmi, bakso,bakpao, yang sangat akrab dengan lidah kita. Dari Itali kita dapatkan piza, dari Turki kita dapatkan kebab, dari India kita nikmati martabak, dari Thailand kita peroleh thomyam, dari Amerika kita temukan pancake, dan sebagainya.
Di seantero Nusantara tersebar aneka menu makanan yang tak kalah semaraknya. Selain rendang dari Padang dan nasi goreng yang sudah mendunia, juga ada ayam tangkap dari Aceh, minuman martabe dari Medan, es kacang merah dari Palembang, rajungan segar dari Bangka Belitung, lalapan Sunda, soto Betawi, gudeg Jogja, sop konro Makasar, ikan semah Pontianak, timlo Solo, wingko babat Semarang, rujak cingur dan rawon setan Surabaya, ikan bakar Jimbaran, sayur kangkung Mataram, ayam panggang Lombok, sampai pepeda Maluku dan Papua yang rasanya takan terlupakan.
Apakah Banjarnegara memiliki tradisi kuliner? Kita punya modal kuat untuk ke sana. Modal itu berupa jumlah makanan khas yang berserak di wilayah Banjarnegara. Dari Sususkan kita dapatkan cimplung, di Klampok kita dapati kelapa muda kopyor, dari Purwanegara kita dapatkan ayam petis yang gurih nikmat, dari Banjarnegara kita punya buntil lezat dan pecel Semarang, dari Madukara kita dapatkan dawet ayu Munardjo, kripik salak, dan apem lezat, dari Madukara dan Sigaluh kita dapatkan durian runtuh jenis Si Mimang yang rasanya melebihi durian dari mana pun, dari Wanadadi kita temukan gejos kedelai yang rasanya mak josss.., Kalibening punya gula semut dan wajik klethik, Wanayasa punya ondhol kremes, Karangkobar punya tempe kemul, Pejawaran punya sayur lombok ijo, Batur punya careca, kripik kentang, sementara soto Banjarnegara yang kental dan segar ada di hampir semua kecamatan, dan sebagainya.
Selain jenis makanan yang merupakan warisan nenek moyang, di Banjarnegara banyak kelompok masyarakat yang menciptakan menu makanan baru. Teman-teman dari komunitas Pikas menciptakan salad salak, hotel Central membuat sop iga “pindang gunung” yang gurih tanpa santan. Jangan lupa ikan sungai serayu segar, bisa kita dapatkan di warung Pak Slamet Bandingan Sigaluh, dan RM Sari Rahayu 4 Semampir. Bu Mansur memperkaya khasanah makanan Banjarnegara dengan ayam gorengnya yang empuk-empuk nyam-nyam, sementara Pak Ratno menyumbangkan jenis baso kupat segar.
Nah dengan modal itu saya yakin, Banjarnegara bisa bicara lantang dalam wisata kuliner. Tantangannya adalah, bagaimana agar aneka makanan itu tidak berserak tanpa ikatan. Para ahli gisi dan kuliner perlu menata, bagaimana potensi makan itu bisa menjadi seni kuliner di Banjarnegara. Perlu rekayasa, siapa penyajinya, bagaimana menyajikanaanya, termasuk mjusik apa yang mengiringi.
Banjarnegara sebagai salah satu sub kultur Banyumas memang tidak menyukai hal-hal yang rumit dan njlimet. Mau makan ya tinggal makan tidak kakehan sengek, tetapi kalau ingin mengembangkan pariwisata kita tidak boleh alergi pada yang kakehen sengek, ruwet dan njlimet, sebab dalam ruwet dan njlimet ada keasyikan tersendiri, seperti ketika kita belanja di pasar tradisional yang dengan tawar menawar atau makan kepiting yang sangat sibuk tapi dapat daging hanya seunthil. Dalam pariwisata, yang rumit-rumit menjadi sebuah keasyikan yang bisa dijual. Sebab tourism itu berarti keluar dari rutinitas.
Di Semarang misalnya, ada sebuah rumah makan khas di Jalan Raden Saleh yang didirikan sejak jaman Belanda hingga sekarang masih bertahan. Semua tamu begitu duduk, minta tidak minta, disuguhi segelas jamu dan satu toples kecil criping singkong. Sambil menanti pesanan datang musik country akan menemani para tamu. Setelah itu, pesanan akan datang.
Beberapa restoran kini tumbuh di tepian sungai Serayu. Pak Satrio Yudhiarto juga membangun hotel dan taman rekreasi. Di bekas terminal lama dibangun taman kuliner. Di tempat lain juga banyak muncul resto yang menawarkan menu-menu alternatif. Saya berharap tempat-tempat yang sudah special itu tidak hanya sekedar menyajikan menu saja, tetapi juga mendesain kerumitan tata cara makan yang mengasyikan hingga layak laku dijual dan dipromosikan sebagai bagain dari paket wisata. Itulah kuliner, itulah seni menyajikan makanan yang menjadi bagian dari pembangunan jati diri Banjarnegara.
Siapa akan memulai?*** (hadi-supeno)
suarajateng.com