Oleh : Yoga Setia, S. Sos
Jika kita mengingat sekelumit pernyataan Presiden SBY dahulu saat Sidang Kabinet di Bogor sekita akhir tahun 2011, terlihat beliau selaku Kepala Pemerintahan menyadari betul bahwa Birokrasi di lembaga pemerintahan pada kenyataannya merupakan penghambat utama dalam pembangunan. Hanya saja rencana penyelesaian masalah tersebut selalu klasik, Pembinaan mental SDM Birokrat, ESQ, pembuatan SOP konvensional dan strategi Reformasi Birokrasi Klasik lainnya. Bukan berarti mengesampingkan atau mengabaikan cara-cara tersebut, namun opsi canggih yang sebenarnya sudah dilakukan oleh birokrat di banyak negara, tetap kurang menjadi perhatian, yakni pengembangan e-Government atau tata kelola pemerintahan berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
Dunia telah berubah. Pemerintahan di banyak negara pun tidak khawatir untuk menjadikan Teknologi Informasi sebagai salah satu backbone pemerintahan. Di Indonesia sendiri, sebenarnya pemanfaatan e-Government sudah cukup masif, termasuk di kalangan pemerintahan. Kemunculan regulasi UU No 11/2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga UU No 14/2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik memang sebagai salah satu bentuk riil peran pemerintah sendiri sebagai penguatan pengembagan e-goverment. Tak terkecuali para birokrat yang digenggamannya terdapat Teknologi Informasi dan Komunikasi, yang ‘ditenteng’ hampir tiap hari kemanapun berada. Namun apa dinyana bila dominasi birokrasi konvensional yang tradisional tetap saja kuat dipertahankan.
Bila kita lihat pengalaman para pendahulu kita dalam mengatur negara, maka regulasi dan SOP menjadi salah satu langkah efektif. Sebagi contoh jujur saja kita merasakan perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah KPK lahir. Bukan hanya karena ada KPK, namun regulasi dan aturan-aturan yang dilahirkan menjadi “pagar listrik” yang cukup efektif dalam mencegah dan menindak pelanggaran. Kultur negatif dapat diatasi dengan aturan dan sangsi yang tegas.
Birokrasi mestinya bisa melihat pengalaman ini. Disamping sisi moral dan SOP konvensional yang relatif mudah “diakali” oleh sistem, perlu dikembangkan sistem informasi yang memastikan suatu rule tidak mudah dimanipulasi oleh kepentingan pihak-pihak yang berniat buruk.
Ok, rasanya sampai titik ini kita sepakat untuk mengkompilasi birokrasi dengan Sistem Informasi pemerintahan yang efektif dan menyeluruh, tidak cukup setengah hati. Namun mari kita lihat status pengembangan e-Government di beberapa pemerintah daerah di Indonesia saat ini.
Hingga saat ini pengembangan e-Government kita masih mengandalkan Instruksi Presiden nomor 3 Tahun 2003 tentang Strategi dan Kebijakan e-Government. Beberapa regulasi yang muncul setelahnya juga tidak banyak, diantaranya Peraturan Menteri (Permen) Kominfo tentang kelembagaan yang kemudian dimentahkan oleh Peraturan Pemerintah nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan Permen Kominfo nomor 28/PER/M.KOMINFO/9/2006 tentang Penggunaan Nama Domain .go.id. Bahkan meski telah dilakukan assesment tentang PeGi (Pemeringkatan e-goverment) di level Pemda-Pemda se-Indonesa oleh Direktorat E-Goverment Kemenkominfo pun, seolah implementasi E-goverment hingga saat ini masih sebatas pemenuhan angka kredit point unuk pengembangan sistim informasi dari instansi / lembaga yang mengurusi pengembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Di sebagian besar pemerintah daerah bahkan terjadi tumpang tindih satuan kerja yang berwenang membidangi masalah teknologi informasi ini. Hal ini tak lepas dari kebijakan pemerintah pusat terkait PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Pemerintah Daerah dengan dalil otonomi daerah, juga mengeluarkan regulasi yang mendukung pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 41/2007 tersebut akibatnya masalah klasik akan terus muncul yakni terkait pendanaan yang dikelola oleh instansi yang berwenang dalam pengembangan e-goverment.
Up Date Kebijakan Nasional
Setelah lebih dari sewindu, sudah selayaknya Inpres 3/2003 disesuaikan dengan kondisi aktual. Ini menjadi urgent bagi level pemerintahan daerah, terutama bila dihadapkan dengan statement Presiden SBY yang menilai bahwa birokrasi cenderung sangat lambat mereformasi diri. Di sisi lain, terkadang masing-masing instansi di pemerintah daerah telah membangun sendiri-sendiri sistem-sistem informasi e-Government mereka, yang tidak atau belum terintegrasi.
Tidak sedikit diantaranya didasari sebagai proyek tanpa idealisme untuk mewujudkan good-government governance. Salah satu faktor utama tidak efektifnya birokrasi adalah terkotak-kotaknya masing-masing instansi/lembaga dalam struktur birokrasi pemerintahan. Jangankan di daerah, di level kementrian pun banyak ditemukan perilaku disintegrasi dalam pengolahan data. Kebuntuan ini mesti dan harus dipecahkan melalui keputusan politis nasional.
Infrastrukture-Government
Pengembangan e-goverment pantas mendapat ekstra perhatian mengingat efektivitas dan efisiensi dari sistem tersebut banyak menimbulkan pro dan kontra dari kalangan birokrat sendiri. Hal ini tak lepas dari sistem birokarasi konvensional dan masih dalam taraf perubahan untuk peningkatan SDM qualified di bidang teknologi informasi dan komunikasi.
Regulasi-regulasi yang tidak pro integrasi Sistem Informasi e-Government nasional harus dievaluasi dan sesuaikan. Banyak kita lihat beberapa regulasi, seperti regulasi tentang administrasi kependudukan, badan usaha, keimigrasian, dan lain-lain, menutup atau sangat membatasi, kalau tidak ingin disebut dengan mempersulit integrasi e-Government nasional. Atau jika di daerah mungkin regulasi-regulasi tentang administrasi perijinan, data kepegawaian dll yang tidak mendukung integrasi sistem informasi secara terbuka, bahkan justru yang sering kita jumpai di daerah setidaknya muncul “kebijakan pejabat” nya yang tidak mengijinkan integrasi data dan Sistem Informasi antar satuan perangkat kerja pemerintahan dengan berbagai alasan.
Teknologi tersebut urgent diadakan untuk menjamin-efektifitas, in-efisiensi hingga perilaku tidak aman dalam pengelolaan data dan informasi milik Pemerintah yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Contoh sederhana dari perilaku tidak produktif ini terlihat dari besarnya belanja infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi hingga duplikasi belanja software. Hampir setiap tahun anggaran yang muncul di beberapa pemerintah daerah adalah untuk belanja modal infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi dengan alasan pegembangan e-goverment, yang sebenarnya masih bisa di lakukan secara efektif dan efisien
Setiap pengadaan Sistem Informasi, selalu belanja server dan infrastruktur pendukung lainnya. Bahkan ada pemerintah daerah yang diketahui membelanjakan Sistem Informasi berkali-kali, misalkan Sistem Perijinan Terpadu atau Sistem Informasi Pariwisata, Sistim Informasi Pegawai dan lain sebagainya berkali kali misalnya. Dan diperparah dengan tidak adanya peluang untuk wajib terintegrasi. Selalu ketiadaan aturan yang menjadi alasan, justifikasi legal. Siapa yang dapat membantah? Sehingga, kesadaran atau kemauan birokrat per birokrat dengan posisi strategis yang memungkinkan integrasi birokrasi dengan dukungan e-Government selama ini dapat terjadi. Akhirnya masing-masing satuan kerja di pemerintah daerah akan memiliki Sistim Informasi yang tumpang tindih karena tidak adanya integrasi pola informasi.
Serius?
Status pengembangan e-Government saat ini sudah dikembangkan secara kotak-kotak terpisahkan oleh masing-masing instasi/lembaga di tingkat pemerintahan. Pemerintah perlu menyusun puzzle ini untuk menjadi satu sistem yang terintegrasi, untuk menghasilkan birokrasi pemerintahan yang baik. Eksistensi birokrasi sebagai penghambat pembangunan merupakan kondisi yang berbahaya dan perlu diatasi segera. Bila Teknologi Informasi dan Komunikasi memang akan dijadikan opsi reformasi dalam birokrasi, maka perlu kerja keras menyiapkan infrastruktur dan suprastruktur e-Government. Regulasi yang jauh tertinggal dengan perkembangan teknologi, kemampuan SDM, pembiayaan yang tidak konsisten, kelembagaan, infrastruktur dasar dan teknologi dasar e-Government dan aplikasi yang tidak terintegrasi serta terkotak-kotak dalam struktur wilayah dan sektor pusat masih membayangi.
Seyogyanya masing-masing pemda sudah wajib memiliki masterplan, blueprint atau skema minimal wilayahnya untuk pengembangan e-Government yang terintegrasi. Ini membutuhkan kerja keras dan kerjasama seluruh kalangan pemangku kebijakan untuk mewujudkannya.
*) Penulis adalah staf Dinhubkominfo Kabupaten Banjarnegara
suarajateng.com