Film “Sang Penari” karya sutradara muda Ifa Isfansyah adalah film sukses yang terinsipirasi novel trilogi karya pengarang besar Ahmad Tohari. Film ini meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia (FFI) 2012. Bintang utama Prisia Nasution sebagai Srintil dan Oka Antara sebagai Rasus cukup merepresentasi tokoh yang dikehendaki sang pengarang.
Film “Sang Penari” mengisahkan cerita cinta yang terjadi di sebuah desa miskin Indonesia pertengahan 1960-an. Diceritakan, Rasus (diperankan Oka Antara), seorang tentara muda menyusuri kampung halamannya, mencari Srintil (Prisia Nasution), cintanya yang hilang diantara hiruk pikuk dan kehancuran pasca tragedi Gerakan 30 September. Flash back cerita pun dimulai.
Cerita berawal ketika keduanya masih sangat muda dan saling jatuh cinta di kampung mereka yang kecil dan miskin, Dukuh Paruk. Rasus yang anak miskin yang hanya tinggal besama dengan nenek semata wayangnya dan Srintil yang hidup dibayangi tragedi tempe bongkrek beracun buatan orang tuanya yang telah merenggut nyawa warga dusun kecil mereka termasuk kedua orang tua Srintil, dan juga seorang ronggeng terakhir di dukuh tersebut. Dukuh Paruk hidup dalam kemiskinan, kebodohan dan kesunyian tanpa adanya suara calung dan gendang karena tak ada lagi ronggeng yang jadi kebanggan dukuh tersebut. Lalu kemudian takdir berbicara, Srintil yang beranjak dewasa menunjukkan bakatnya sebagai seorang ronggeng, karena hal itu membuat para tetua dukuh percaya bahwa Srintil adalah titisan ronggeng. Tapi kemampuan menari Srintil yang magis menghalangi cinta antara dia dengan Rasus. Dan saat Srintil menyiapkan diri untuk tugasnya, ia menyadari bahwa menjadi seorang ronggeng tidak hanya berarti menjadi pilihan dukuhnya di pentas-pentas tari. Srintil akan menjadi milik semua warga Dukuh Paruk. Hal ini menempatkan Rasus pada sebuah dilema. Ia merasa cintanya telah dirampas. Dalam keputusasaan, Rasus meninggalkan dukuhnya untuk menjadi anggota tentara. Dan Srintil tetap pada pendiriannya untuk menjadi ronggeng sebagai wujud pengabdian dirinya terhadap pedukuhannya yang kecil serta untuk memulihkan nama baik orang tuanya, walau dia harus menanggung rasa sakit karena kehilangan cintanya.
Lalu jaman bergerak, Dukuh Paruk harus tersungkur ikut dalam arus tragedi politik dimana mereka tak pernah memahaminya karena kebodohan mereka, termasuk grup ronggeng Srintil yang harus kena getahnya. disaat seperti itu, Rasus harus terjebak dalam dua pilihan, memilih loyalitas kepada negara, atau cintanya kepada Srintil. Dan ketika Rasus berada dalam dilema, ia sudah kehilangan jejak kekasihnya. Pencariannya tidak mudah dan baru membuahkan hasil setelah 10 tahun kemudian, nasib mempertemukan Rasus dengan Srintil.
Walau tidak 100% mengadaptasi cerita dari novel Ronggeng Dukuh Paruk (mungkin terlalu berat mengadaptasi trilogi ronggeng dukuh paruk kedalam satu film yang bedurasi tak lebih dari 111 menit) tapi film ini cukup pantas mendapatkan perhatian karena menjadi wacana baru dalam dunia perfilman Indonesia. Film ini bahkan layak masuk festival-festival film internasional. Selain Akting para pemainnya yang mendalami karakter masing-masing, setting lokasi dan atribut yang juga cukup detail. Selain itu segi bahasa dan dialeknya ikut menghidupkan suasana Dukuh Paruk yang sesungguhnya.
Dan walaupun endingnya tak setragis versi novelnya, film ini mampu membuat sang penulis novel ronggeng dukuh paruk, Ahmad Tohari ikut larut dalam emosi film ini. Beliau bahkan berujar bahwa sang sutradara di beberapa bagian bahkan lebih berani menggambarkan apa yang dia sendiri tak berani untuk menggambarkannya. Hal ini diungkapkan Kang Tohari yang dijuluki “Ramane Rasus” kepada Muji Pras dari Suara Jateng setelah nonton bareng film ini di Purwokerto.
Sinopsis versi Novel :
Semangat Dukuh Paruk kembali menggeliat sejak Srintil dinobatkan menjadi ronggeng baru, menggantikan ronggeng terakhir yang mati dua belas tahun yang lalu. Bagi pendukuhan yang kecil, miskin, terpencil, dan bersahaja itu, ronggeng adalah perlambang. Tanpanya, dukuh itu merasa kehilangan jati diri. Dengan segera Srintil menjadi tokoh yang amat terkenal dan digandrungi. Cantik dan menggoda. Semua ingin pernah bersama ronggeng itu. Dari kaula biasa hingga pejabat-pejabat desa maupun kabupaten. Namun malapetaka politik tahun 1965 membuat dukuh tersebut hancur, baik secara fisik maupun mental. Karena kebodohannya, mereka terbawa arus dan divonis sebagai manusia-manusia yang telah mengguncangkan negara ini. Pedukuhan itu dibakar. Ronggeng beserta para penabuh calungnya ditahan. Hanya karena kecantikannyalah Srintil tidak diperlakukan semena-mena oleh para penguasa di penjara itu. Namun pengalaman pahit sebagai tahanan politik membuat Srintil sadar akan harkatnya sebagai manusia. Karena itu setelah bebas, ia berniat memperbaiki citra dirinya. Ia tak ingin lagi melayani lelaki mana pun. Ia ingin menjadi wanita somahan. Dan ketika Bajus muncul dalam hidupnya, sepercik harapan timbul, harapan yang makin lama makin membuncah. Tapi, ternyata Srintil kembali terempas, kali ini bahkan membuat jiwanya hancur berantakan, tanpa harkat secuil pun ***
suarajateng.com